Sejak turunnya, Al-Qur'ân memiliki sikap yang cukup kritis terhadap kitab-kitab yang turun sebelumnya (Zabur, Taurat dan Injil). Kritisisme Qur'ani ini semakin memperjelas jati dirinya sebagai 'afirmator' (mushaddiq) sekaligus 'batu ujian' (muhaymin ‘alayhi).[2]
Konsep tahrîf (corruption) yang dijelaskan oleh Al-Qur'ân ini menggambarkan adanya ketidakjujuran dan penyelewengan yang terjadi atas kitab-kitab suci tersebut. Namun demikian, konsep tahrîf yang dibeberkan Al-Qur'ân ini mendapat semacam 'bantahan' yang cukup keras dari kalangan Kristen. Mereka tetap berkeyakinan bahwa Bibel masih tetap otentik dan orisinil, meskipun itu merupakan sebuah kewajaran.
Dalam tulisan ini, kita akan coba untuk membuktikan konsep tahrîf Qur'ani ini secara objektif dan kritis. Penulis mencoba untuk mengambil sampel bantahan dari para penulis Kristen Qibti (Koptik) Mesir. Meskipun kritik dalam makalah ini diaplikasikan secara umum. Berbagai kritik dalam makalah ini akan penulis bubuhkan di tengah-tengah tulisan, agar lebih mengena dan tidak terpisah-pisah.
PENGERTIAN TAHRIF
Tahrîf secara etimologis, derivasi dari kata harrafa (al-syai'a): amâlahu (‘memiringkan‘). Dikatakan: harrafa al-qalama (‘memiringkan pena/pensil‘): qaththau muharrafan (‘dipotong secara miring‘). Dan harrafa (al-kalâma): ghayyarahû wa sharrafahû ‘an ma‘ânîhi (‘merubah atau mengalihkan perkataan dari makanya –yang benar‘). Di dalam Al-Qur'ân disebutkan,"Yuharrifûna al-kalima ‘an mawâdhi‘ihî" (Mereka –orang-orang Yahudi—suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya).[3]
Menurut Ibnu Manzhûr, tahrîf al-kalimi ‘an mawâdhi‘ihî: taghyîriuhû (‘merobahnya‘). Dan tahrîf di dalam Al-Qur'ân dan al-kalimah (perkataan): merubah huruf dari maknanya dan perkataan dari maknanya. Hal ini sangat mirip seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dalam merubah makna-makna Taurat dengan al-asybâh (kata-kata yang serupa). sehingga, atas perbuatan mereka, Allah menyifati melalui firman-Nya, "Yuharrifûna al-kalima ‘an mawâdhi‘ihî." Dalam hadits Abu Hurairah Nabi Saw. bersabda, "Âmantu bi muharrifi al-qulûb."[4]
Râghib al-Ashfahânî di dalam al-Mufradat-nya menyatakan bahwa tahrîf al-sya'i artinyaimâlatuhû, memiringkannya. Dan ‘tahrîf al-kalâm, an taj‘alahu ‘alâ harf min al-ihtimâlayni yumkinu hamluhû ‘ala al-wajhayni‘ (‘menjadikan perkataan di antara dua kemungkinan yang dapat dibawa kepada dua bentuk (penafsiran‘)).[5]
PENDAPAT KRISTEN TENTANG TAHRIF
Umat Kristen –termasuk di dalamnya Yahudi—menolak adanya tahrîf di dalam Bibel. In wajar, karena kalau mereka menerima konsep ini, berarti mereka mengakui bahwa kitab suci mereka tidak otentik alias 'aspal'. Di bawah ini, penulis mencoba untuk mengutip beberapa pendapat mereka tentang tahrîf yang disebutkan oleh Al-Qur'ân di atas.
Pertama, pendapat al-Qiss ‘Abd al-Masîh Basîth Abu al-Khair, pendeta gereja al-‘Adzrâ' al-Atsariyah di Masthrud. Ia menyatakan bahwa yang di maksud dengan kata tahrîf dalam setiap kitab suci adalah tahrîf al-kalâm artinya: menafsirkannya kepada yang bukan artinya tanpa dalil dan memberikan makna yang bertentangan dengan makna yang sebenarnya. Karena, menurutunya, secara etimologis tahrîf itu adalah tabdîl al-ma‘nâ (‘menukar makna‘). Sedangkan secara terminologis banyak sekali:
- al-tahrîf al-tartîbî: memindahkan satu ayat dari tempatnya ke tempat yang lain;
- tahrîf al-ma‘nâ wa tabdîluhû kepada –maknya—yang bertentangan zahir lafazhnya. Ini mencakup tafsir bi al-ra'yi. Setiap orang yang menafsirkan perkataan menyalahi hakikatnya dan membawanya kepada selain maknanya, maka itu adalah tahrîf[6];
- tahrîf al-lafzh, yaitu mencakup setiap penambahan (al-ziyâdah) dan pengurangan (al-naqsh), perubahan (al-taghyîr) dan penukaran (al-tabdîl).[7]
Kedua, Dr. Dawud Riyâdh Arsanius, profesor teologi al-Difâ‘ ‘an al-Imân. Pendeta ini berpendapat bahwa tidak mungkin firman Allah (kalâm Allâh) untuk di-tahrîf. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengajuk beberapa pertanyaan:
- jika Taurat dan Injil yang asli merupakan risalah Allah untuk menunjuki manusia, apakah Allah tahu tahrîf?(kalau benar-benar memang telah terjadi);
- Apakah –Allah—ridha dengan tahrîf risalah-Nya?;
- Apakah Dia mampu menjaga risalah-Nya?;
- Di mana tahrîf itu terjadi?;
- Mana naskah yang benar? Hendaknya orang yang keberatan memberikan bukti jika ia memang benar.[8]
BEBERAPA SYUBHAT KRISTEN TENTANG TAHRIF
Menurut pendeta Abu al-Khayr, klaim tahrîf terhadap Bibel tidak benar dan tidak rasional, karena tidak sesuai dengan logika, akal dan fakta-fakta sejarah. Klaim semacam itu, menurutnya, hanya merupakan usaha untuk melahirkan perbedaan pendapat antara akidah-akidah substansial yang ada –di masing-masing—Kristen dan Islam. Karena, tidak ada seorangpun yang menyatakan tahrîf Bibel sebelum abad pertengahan dan masa tersebarnya Islam di tengah-tengah komunitas Kristen pada abad pertengahan. Hal ini dikarenakan beberapa sebab:
- Kesaksian Al-Qur'ân bahwa Bibel dengan kedua PL dan PB-nya (Taurat dan Zabur [Mazmur] dan Injil) merupakan Firman Allah (Kalimah Allâh) yang diwahyukan dan wahyu itu merupakan petunjuk (hudan) dan cahaya (nûr). Tetapi, dikarenakan adanya perbedaan dari segi akidah (keyakinan) subtstansial (al-‘aqâ'id al-jawhariyah) antara keduanya menimbulkan pernyataan tahrîf Bibel!
- Adanya keyakinan bahwa Bibel memberikan kabar gembira tentang ‘Nabi lain‘ yang akan datang setelah Kristus dan ketiadaan penyebutan kabar gembira yang masih merupakan tesa (al-bisyârah al-muftaridhah) di dalam Bibel. Sebagian orang telah menerapkan beberapa ramalan yang dengannya para nabi PL meramalkan Kristus yang akan datang dan ditunggu. Begitu juga pernyataan Yesus Kristus kepada para muridnya tengan pengiriman parakletos Roh Kudus kepada mereka pada hari yang kelima puluh, yang merupakan kabar gembira yang dikatakan itu![9]
- Adanya keyakinan bahwa Injil yang diturunkan kepada Kristus itu satu, bukan empat. Dan Injil tersebut bukan kitab-kitab PB yang ditulis oleh murid-murid dan rasul-rasul Kristus.
- Perbedaan –cara pandang teologis—seputar penyaliban Kristus dan pengorbanannya (fidâ') untuk manusia lewat penyerahan dirinya sebagai tebusan dalam menyelematkan dunia seluruhnya, sebagai sentral Bibel. "Kata salib bagi mereka yang binasa merupakan kebodohan, tetapi bagi kita yang diselamatkan merupakan kekuatan Allah." (1 Korintus 1: 18).
- Perbedaan –konsep—seputar ketuhanan Kristus (lâhût al-Masîh) dan penampakan zahirnya (ketuhanan) dalam tubuhnya dan kesatuannya dengan Bapa dan Roh Kudus. Kemudian, doktrin keesaan Allah yang komprehensif, Bapa, Anak dan Roh Kudus: yang maujud (ada) dengan dzat-Nya = Bapa; yang berbicara dengan Firman-Nya = Anak, dan yang hidup dengan roh-Nya = Roh Kudus.
- Berbagai bentuk perbedaan yang lain, apakah itu dalam bentuk keyakinan atau hukum, seperti kehidupan setelah mati di dunia yang lain. "Karena mereka pada hari kiamat mereka tidak mengawinkan dan tidak kawin, melainkan hidup seperti para malaikat di langit (surga)." (Matius 22: 30).[10]
Hemat penulis, pendapat pendeta Abu al-Khayr di atas tampak jelas ‘menyerang‘ akidah Islam. Keenam poin di atas sangat bertolak belakang dengan apa yang ada dalam Islam. Maka sangat wajar dan benar, jika Kristen dan Islam memiliki perbedaan teologis yang cukup mendasar. Ia tidak bisa disinkronkan begitu saja, agar tidak terjadi gap, misconceiption, misunderstanding, dan sebagainya. Yang pasti, umat Kristen menolak bahwa kitab suci mereka telah mengalami tahrîf.
Tapi, marilah kita coba kritisi enam syubhat di atas secara ‘jurdil‘.
Pertama, tentang Bibel sebagai Kalâm Allâh. Umat Islam tidak menyangkal bahwa Bibel (PL dan PB) pada mulanya sebagai ‘Firman Allah‘. Taurat yang diturunkan kepada Musa oleh Allah, diakui oleh umat Islam sebagai Taurat yang benar sebagai wahyu Allah. Dan ini mendapat kesaksian sendiri di dalam Al-Qur'ân. "Innâ anzalnâ al-taurâta fîhâ hudan wa nûr"[11]
Tentang Injil, Allah juga memberikan kesaksian, ‘....Wa qaffaynâ ‘alâ âtsârihim bi ‘Isâ ibni Maryama mushaddiqan limâ bayna yadayhi min al-taurâti wa âtaynâhu al-injîla fîhi huan wa nûr wa mushaddiqan limâ bayna yadayhi min al-taurâti hudan wa maw‘zhatan li al-muttaqîn."[12]
Tentang Al-Qur'ân Allah berfirman: "Wa anzalnâ ilayka al-kitâba bi al-haqqi mushaddiqan limâ bayna yadayhi min al-kitâb wa muhayminan ‘alayhi...."[13]
Surat al-Mâ'idah merupakan surat Al-Qur'ân satu-satunya yang menyatukan ketiga kitab samawi di atas. Menurut Dr. Sya‘bân Muhammad Isma‘il, ayat di atas mengindikasikan adanya ikatan yang kuat (al-tarâbûth al-watsîq) antara ketiga kitab di atas. Setiap kitab disifati sebagai "mushaddiq limâ bayna yadayhi"[14], yakni kitab sebelumnya, kecuali Al-Qur'ân. Meskipun dia datang sebagai ‘afirmator‘ (mushaddiqan limâ bayna yadayhi), hanya saja ia diberi satu sifat tambahan, karena dianggap sebagai kitab terakhir dan penutup. Ia disifati sebagai "muhayminan" (‘batu ujian‘) atas seluruh –kitab-kitab—yang turun sebelumnya, karena Al-Qur'ân merupakan risalah yang abadi (al-risâlah al-khâlidah).[15]
Hemat penulis, inilah yang yang selalu dikutip secara tidak benar oleh umat Kristen, guna mendukung kepentingan mereka. Tujuannya, agar umat Islam mengakui bahwa Bibel itu tidak di-tahrÃf, karena mendapat kesaksian di dalam Al-Qur'ân sebagai wahyu Allah: yang mengandung petunjuk dan cahaya.
Kedua, tentang nubuwat (ramalan) ‘seorang nabi yang akan datang setelah Yesus‘. Benar, umat Kristen menolak ini. Semua nubuwat yang menunjuk dan mengarah kepada Nabi Muhammad Saw. ‘ditumplekkan‘ kepada Yesus Kristus. Ironinya, mereka mengklaim bahwa nubuwat terebut tidak pernah ada di dalam Bibel. Karena tidak ada, menurut mereka, umat Islam menuduh Bibel telah di-tahrîf.
Respon yang sangat keras adalah apa yang ditulis oleh pendeta Abu al-Khayr dalam bukunya Hal Tanabba'a al-Kitâb al-Muqaddas ‘an Nabiyyin Âkhar Ya'ty ba‘da al-Masîh? Dia menuduh umat Islam ‘aneh‘.
Kenapa aneh? Karena, mereka, menurutnya, mengatakan Bibel telah di-tahrîf, tapi pada waktu yang sama menerimanya. Mereka menerima Bibel jika sesuai dengan apa yang mereka katakan –terutama tentang nubuwat ini. Namun ketika bertentangan dengan apa yang mereka inginkan, mereka menolaknya. Bahkan dia menyatakan bahwa dalam beberapa kesempatan, umat Islam merujuk bahasa Bibel yang asli: Ibrani dan Yunani. Tetapi bukan untuk mengambil dalil lewat makna dan signifikansinya secara bahasa, tetapi menakwilkannya dan menafsirkannya secara zahir.[16]
BENARKAH NUBUWAT ITU TIDAK ADA?
Nubuwat untuk Nabi Muhammad sangat jelas ada di dalam PL dan PB. Salah satu bentuk nubuwat itu adalah kata parakletos atau periklytos yang ada di dalam Injil Yohanes pasal 14: 26: ‘Roh Allah‘, Penolong yang akan diutus Bapa atas namaku. Dialah yang akan mengajari kalian segalanya dan mengingatkan kalian akan semua yang sudah Kuberitahukan kepadamu.‘
Dalam pasal 15: 26 Yesus menyatakan, "Aku akan mengutus kepada kalian Penolong dari Bapa. Dialah Roh yang akan menyatakan kebenaran tentang Allah. Apabila ia datang, ia akan memberi kesaksian tentang aku, sebab kalian sudah aku sejak semua." Tentang pekerjaan Roh Allah itu, Yesus menyatakan, "Tetapi aku mengatakan yang benar kepada kalian: Lebih baik untuk kalian, kalau aku pergi; sebab kalau aku tidak pergi, penolong itu tidak akan datang kepada kalian. Tetapi kalau aku pergi, akau akan mengutus Dia kepada kalian. Kalau Ia datang, Ia akan menyatakan bahwa tidak percaya kepadaku adalah dosa; bahwa aku benar, karena aku pergi kepada Bapa dan kalian tidak akan melihat aku lagi; dan bahwa Allah sudah mulai menghukum, sebab penguasa dunia ini sudah dihukum. Banyak lagi yang mau kukatakan kepada kalian, namun sekarang ini kalian belum sanggup menerimanya. Tetapi kalau Roh itu datang, yaitu Dia yang menyatakan kebenaran tentang Allah, kalian akan dibimbing-Nya untuk mengenal seluruh kebenaran. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri tetapi mengatakan apa yang sudah didengar-Nya, dan Ia akan memberitahukan kepada kalian apa yang akan terjadi di kemudian hari. Ia akan mengagungkan Aku, sebab yang disampaikan-Nya kepada kalian, diterima-Nya daripada-Ku. Semua yang ada pada Bapa adalah kepunyaan-Ku. Itu sebabnya Aku berkata bahwa apa yang disampaikan Roh kepada kalian, diterima-Nya dari Aku." (Yohanes 16: 7-15).
Oleh pendeta Abu al-Khayr, semua sifat-sifat yang ada dalam Injil Yohanes ini adalah untuk ‘Roh Kudus‘, bukan sifat nabi yang ‘akan datang‘ setelah Yesus. Namun, para teolog dan ulama yang concern pada kristologi mengklaim bahwa Injil Yohanes pasal 14, 15, dan 16 berbicara tentang ‘nabi yang akan datang‘, yakni Nabi Muhammad Saw.
Memang, yang dikenal oleh umat Islam adalah istilah istilah ‘Penolong‘ biasa dikenal denganPeriklytos, yang berarti al-hamd. Sehingga, artinya lebih dekat kepada nama Nabi Saw., Ahmad atau Muhammad. Istilah ini ditolak oleh Abu al-Khayr. Yang benar menurutunya adalah Parakletos, bukan Periklytos. Dalil beliau memang cukup kuat.
Menurutnya, tidak ada satu manuskrip pun, di tempat manapun dan di zaman apa pun yang memuat kata selain Parakletos. Bahkan, menurutnya, kami menantang seseorang untuk memperlihatkan selain kata Parakletos ini. Dia juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa di dalam Injil Yohanes yang sekarang pasal 14: 16, 15: 26 dan 16: 7 terdapat kata (al-mu‘azzy) sebagai terjemahan dari kata parakletos. Para ulama kita –dia menyindir ulama Islam—meyakini bahwa kata parakletos merupakan bacaan yang di-tahrîf (qirâ'ah muharrafah) terhadap kata periklytos. Apa dasarnya keyakinan mereka ini?!![17]
Bantahan yang paling menarik adalah yang dipaparkan oleh Ahmed Deedat. Beliau menyatakan bahwa nama yang paling umum diterima oleh umat Kristen adalah "Penghibur". Tidaklah menjadi masalah penghibur atau istilah yang lain. Kami tetap ingin menggunakan penghibur seperti digunakan dalam terjemahan populer "King James Version".
Tanyakan musuhmu, pembantahmu, apakah Yesus berbicara dalam bahasa Inggris? "Pasti tidak!" itu yang dikatakan setiap umat Kristen. Jika Anda membicarakannya dengan orang Kristen Arab maka Anda dapat menanyakan, "Apakah Tuhannya menggunakan kata-kata Mooouzzi?"[18] Tentu saja tidak, karena Arab bukan bahasanya. Apakah Yesus meramalkan "Umthokozisi?" (Penghibur dalam bahasa Zulu) atau "Trooster" dari Injil Afrika? Jawabannya tentu tidak.
Umat Kristen telah membual dengan cerdik bahwa mereka sekarang telah menterjemahkan Injil secara lengkap ke dalam ratusan bahasa yang berbeda dan lebih dari 2000 Perjanjian Baru (di dalamnya ramalan tersebut berlimpah-limpah) dengan bahasa dan dialek yang berbeda-beda; jadi orang-orang pintar Kristen telah menemukan lebih dari 2000 nama dalam 2000 bahasa yang berbeda untuk satu orang calon – Penghibur![19]
Tentang ‘Yang Lain‘, Deedat memiliki analisa yang cukup apik. Beliau menjelaskan bahwa Sang Penghibur dalam Yohanes 14: 26 tidak akan pernah menjadi ‘roh kudus‘ karena Yesus telah menerangkan:
"Aku akan meminta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong yang lain, supaya ia menyertai kamu selama-lamanya." (Injil – Yohanes 14: 26).
Penekanan di sini adalah pada kata ‘yang lain‘, sebuah perbedaan, sebuah penambahan, tetapi dari jenis yang sama, namun berbeda dari yang pertama.
Lalau siapa ‘penghibur pertama‘? Dunia Kristen sepakat bahwa dalam kasus ini pembicara sendiri – Yesus Kristus adalah penghibur pertama; kemudian datanglah yang lain, seorang yang mengikuti haruslah alami, merasakan kondisi yang sama, yaitu kelaparan, kelelahan, kesedihan dan kematian. Tetapi penghibur yang dijanjikan ini harus "menyertai kamu selama-lamanya!" Tidak ada seorangpun hidup selamanya. Yesus meninggal maka Penghibur yang akan datang juga meninggal. Tidak ada anak manusia yang tidak mati!
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Ali ‘Imran: 185).
Jiwa tidak benar-benar mati, tetapi ketika terpisah dari badan sewaktu tubuh mati, jiwa akan meraskan kematian. Tetapi Penghibur kita harulah kekal (ada), kontinu, abadi selamanya. Semua Penghibur menyertai kita selamanya. Musa ada di sini dengan kita hari ini dalam ajarannya dan Muhammad juga di sini dengan kita dalam ajarannya hari ini. (Semoga kesejahteraan dan berkah Tuhan diberikan atas mereka semua). Ini bukan ide baru, kata Deedat, saya mencoba meluruskan hal yang tak masuk akal tersebut. Saya mengatakan ini dengan keyakinan dan otoritas dari Yesus Kristus sendiri.[20]
Ketiga, tentang Injil. Benarkah Injil itu empat? Atau sebaliknya, hanya satu? Dalam dunia Kristen, Injil yang diakui hanya empat: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Pendeta Abu al-Khayr, menolak pendapat yang menyatakan bahwa Injil itu satu, yakni yang diturunkan kepada ‘Isa al-Masih, yang lainnya adalah tulisan manusia.[21] Padahal keempat Injil yang ada sampai hari ini terus dikelilingi misteri yang belum terpecahkan.
Keempat Injil yang ada (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) dianggap oleh umat Kristen ditulis berdasarkan inspirasi dari Roh Kudus. Menurut Prof. Al-A‘zami, keempat pengarahnya tidak diketahui dengan pasti. Dalam kata-kata Sir Edwyn Hoskyns dan Noel Davey:
Jika diraskan sulit, karena bukti yang kurang memadai, untuk menamakan para pengarang Injil-Injil Sinoptik, maka lebih baik sulit lagi menentukan tanggal penulisannya secara pasti. Di sini tak ada bukti sama sekali; dan penentuan tanggal hanyalah suatu kemustahilan. Terminus ad quem adalah sekitar tahun 100 M.[22]
Klaim yang menyatakan bahwa keempat Injil itu ditulis berdasarkan inspriasi dari Roh Kudus juga tidak benar!
Inspirasi, ide bahwa Tuhan secara nyata memberikan visi atau kemampuan atau wahyu secara langsung kepada seseorang merupakan sebuah konsep yang sentral dari semua agama monoteistik. Akan tetapi, PB tidak pernah mengklaim dirinya sebagai karya dari sebuah inspirasi. Satu-satunya bagian yang mungkin menunjukkan inspirasi ini adalah 2 Timotius 3: 16, bahwa, "Setiap Kitab Suci terinspirasikan dan berguna untuk pengajaran." Yang dimaksudkan di sini bagaimanapun juga adalah PL, sebab PB belum lagi dikompilasikan dalam bentuk yang kita kenal kini. Seorang penulis abad kedua, Justin Martyr, lebih lanjut mengkarifikasi bahwa inspirasi ini dimaksudkan bukan pada teks Ibrani yang ada, tapi hanya pada keakuratan penerjemahannya ke dalam bahasa Yunani kuno.
Sarjana-sarjana Kristen sering membumbui tulisan-tulisan mereka dengan terminologi ‘inspirasi‘; misalnya P. W. Comfort menyatakan, "Individu-individu tertentu...diberi inspirasi oleh Tuhan untuk menulis penjelasan-penjelasan Injil untuk membakukan tradisi oral." Dan lagi, para juru tulis yang mengopi PB pada tahap belakangan, "Mungkin menganggap diri mereka telah terinspirasikan oleh roh dalam membuat penyesuaian-penyesuaian tertentu dengan contoh." Namun, para pengarang empat Injil yang anonim itu boleh jadi sangat tidak sependapat dengan Prof. Comfort. Injil yang terawal, Markus, dianggap sebagai sumber utama oleh para pengarang Matius dan Lukas, yang telah mengubah, menghapus, dan menyingkat banyak kisah-kisah Markus. Perbuatan semacam ini tidak akan mungkin terjadi jika mereka menganggap bahwa Markus diberi inspirasi oleh Tuhan, atau bahwa kata-katanya merupakan kebenaran sejati.[23]
Keempat, tentang konsep Penyaliban Yesus. Tentu saja ini bertentangan dengan konsep Islam yang ada di dalam Al-Qur'ân. Al-Qur'ân secara tegas menolak doktrin ini. "Wa mâ qatalûhu wa mâ shalabûhu wa lâkin syubbiha lahum."[24] Padahal jika ditelaah secara kritis, Injil sendiri menolak dogma penyaliban ini.[25]
Kelima, tentang ketuhanan Kristus (Lâhût al-Masîh). Dalam Islam, Yesus bukan Tuhan, atau anak Tuhan. Bahkan, di dalam Bibel sendiri tidak ada satu ayatpun yang menyatakan bahwa Yesus itu Tuhan. Konsep ini hanyalah buatan bapak-bapak gereja belakangan.
Ada beberapa ayat yang dipakai untuk membuktikan ketuhanan Yesus, salah satunya –dan ini yang paling kokoh—adalah Yohanes 1:1:
"In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God."
"Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah."
Yesus dianggap sebagai Firman Allah disebutkan dua kali dalam Al-Qur'ân berikut ini:
"Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh." (Qs. Ali ‘Imran: 39)
"(Ingatlah) ketika malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggemberikan kamu (dengan kelahiran putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih ‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),....(Qs. Ali ‘Imran: 45)
Pada ayat Al-Qur'ân di atas, Yesus juga disebut Firman dari Allah, Firman Allah atau Firman milik Allah, dalam hubungannya dengan 1 Korintus 3: 23 yang berbunyi:
"Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus miliki Allah." Sehingga, Yohanes 1: 1 dapat juga ditulis "....and the word was God's"—dan firman adalah miliki Tuhan." Kesalahan dapat terjadi dalam penerjemahan dari bahasa Aram (yang dituturkan Yesus) ke bahasa Yunani, disengaja atau tidak. Dalam bahasa Yunani kata Theos artinya Tuhan, tetapi Theou artinya milik Tuhan. *Perbedaannya hanya satu huruf tetapi besar konsekwensinya.[26]
Seumur hidupnya, Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya Tuhan. Pauluslah pembuat ajaran sesat ini!
Calmet, seorang penulis Kristen terkemuka mendamprat Paulus dengan kata-kata begini:
"Yesus mengajar keimanan kepada satu Tuhan. Tetapi Paulus dengan Yohanes yang Platonis itu, merusak agama Kristen dari kecantikan dan kesederhanannya dengan memperkenalkan Trinitas Plato yang tidak bisa dipahami, atau Triad Timur, dan juga mendewakan atribut dua Tuhan yang bernama Roh Suci dan Akal Ketuhanannya yang disebut oleh Plato...."Logos".[27]
Keenam, berkaitan dengan syariat, hemat penulis tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab, syariat Islam dan Kristen memang sangat berbeda, seperti cara berpuasa, shalat, berdoa, dsb. Semua yang kita sebutkan di atas merupakan bentuk tahrîf yang ada di dalam Bibel. Sayangnya, umat Kristen tidak tahu, atau –bisa jadi – tidak mau tahu tentang hal ini. Maka wajar jika disebut oleh Allah sebagai golongan yang tersesat, al-dhâllîn, seperti yang disebutkan di dalam surat al-Fâtihah [1]: 7.
KRITIK TEOLOG MUSLIM TERHADAP BIBEL YANG MUHARRAF
Sekarang kita mencoba untuk menguraikan dua pendapat teolog Muslim terkemuka, imam Ibnu Hazm al-Andalusî (w. 456 H-1069 M) dan al-Syahrastani (w. 548 H). Kedua teolog ini, menurut penulis, memiliki concern khusus dalam kajian kegamaan dan aliran (sekte-sekte) yang ada dalam agama Islam dan luar Islam. Keduanya sama-sama mengkritisi ‘penyelewengan‘ yang ada di dalam Bibel, meskipun mereka tidak memberikan defenisi tentang makna tahrîf itu sendiri.
Pertama, Ibnu Hazm al-Andalusî dalam bukunya al-Faysal fî al-Milal wa al-Ahwâ' wa al-Nihal memberikan kritik tajam terhadap Bibel –terutama Taurat. Hal ini diakui oleh Hava Lazarus Yafeh. Dalam bukunya Intertwined Worlds, Medival Islam and Bible Criticism, halaman 135, sebagaimana yang dikutip oleh Samîr Qudûrî, menyatakan: "Tidak diragukan bahwa kritik yang diberikan khusus oleh Ibnu Hazm terhadap matan (isi, redaksi) Bibel dianggap sebagai satu studi integral yang tiada bandingnya di dalam buku-buku Islam pada abad pertengahan."[28]
BEBERAPA KRITIK IBNU HAZM TERHADAP BIBEL
Ibnu Hazm memberikan studi kritis atas agama Yahudi yang terdiri dari tiga titik sentral. Studinya ini menghabiskan 207 halaman buku al-Faysal-nya.
Pertama, titik pertama ia tempuh dalam cara kritik:
- Kritik historis dan rasionalitas (maslak naqd al-târîkhî wa al-‘aqlânî) yang ‘menggugat‘ kisah-kisah kitab yang lima (al-asfâr al-khamsah)[29] disandarkan pada fakta-fakta ilmiah yang valid dalam ilmu Geografi, ilmu hitung (al-hisâb) dan Astronomi (al-falak). Ia kemudian mengeluarkan hasil studinya secara rapi dalam 57 pasal. Diantaranya terdapat pasal-pasal yang tidak lebih dari beberapa baris saja, dan beberapa pasal yang mencapai 10 lembar.
- Investigasi validitas (al-fahsh al-watsâ'iqî) sejarah terhadap peredaran Taurat sejak zaman Yosua ibn Yunan hingga zaman Ezra sang penulis (Ezra al-warrâq).[30]
Studi atas matan kitab-kitab yang lima itu membawa Ibnu Hazm untuk melakukan penulisan sejarah singkat perkembangan agama Yahudi: sejak masa hakim-hakim hingga runtuhnya kerajaan Yahuda di tangan pasukan raja Nabukhadz Nasr al-Farisî dan penghancuran Bait al-Muqaddas, pengusiran Yahudi ke kota Babel (Babylonia) sekitar tahun 586 SM. Tujuan Ibnu Hazm melakukan hal ini adalah untuk ‘membatalkan‘ klaim Yahudi yang menyatakan bahwa: "Musa menerima kitab yang lima dari Allah, sebagaimana yang ada sekarang ini. Ia menulisnya sendiri dan menyerahkan untuk kaumnya, kemudian dipindahtangankan secara berturut-turun (tawatur) dari generasi ke generasi."
Ibnu Hazm berpendapat, bahwa banyak hal yang menghalangi transmisi Taurat dari Ezra kepada Musa, diantaranya:
- Murtadnya Bani Israil sebanyak tujuh kali pada masa hakim-hakim;
- Kemudian murtadnya seluru raja-raja keturunan yang sepuluh (kerajaan Utara), sebanyak 20 raja;
- Apalagi dengan murtadnya 15 orang raja dari 25 raja yang memerintah kerajaan Selatan, yaitu kerajaan Yehuda.[31]
Kedua, Ibnu Hazm membahas masalah kebenaran penisbatan sisa Perjanjian Lama (selanjutnya disingkat PL) kepada para penulis tradisionalnya. Beliau memusatkan kritiknya pada Kitab Yosua, Mazmur yang dinisbatkan kepada Dawud, dan tiga Kitab yang dinisbatkan kepada Sulaiman (Solomo)[32], dua Kitab Yesaya dan Kitab Yehezkiel (Hezekiel). Titik sentral ini telah mengungkap beberapa hal:
Ibnu Hazm merupakan kritikus Muslim paling awal yang menggugat kebenaran penisbatan Kitab Yosua kepada Yosua anak Nun. Ia membenarkan bahwa kitab tersebut ditulis setelah Solomo membangun Bait al-Muqaddas dalam waktu yang sangat lama.
Ibnu Hazm merupakan orang pertama yang menggugat penisbatan Kitab Mazmur kepada nabi Dawud as.
Beliau merupakan orang pertama yang mendustakan –tidak membenarkan—klaim Yahudi yang menyatakan bahwa Solomo (Sulaiman) sebagai pengarang tiga kitab yang dinisbatkan kepadanya yang ada dalam PL.
Beliau merupakan kritikus pertama yang menyatakan bahwa sebagian kitab yang dinisbatkan kepada para nabi yang ada dalam PL telah ditulis setelah Pendirian Rumah Tuhan Kedua[33] (di masa Makkabian) sekitar abad ke-5 SM.
Kemudian Ibnu Hazm menutup sentral pembahasan kedua ini dengan paragraf berikut:
"Kita tidak menulis dari apa yang terdapat di dalam kitab-kitab yang mereka sandarkan kepada para nabi –‘alayhimussalâm—kecuali hanya sedikit, yang menunjukkan aib (cela) juga dan penukarannya (...). Kemudian, kita tidak mengetahui bagaimana mereka dapat memiliki hubungan kepada nabi mereka, apalagi yang tidak ada –dari mereka—kecuali pada masa kekafiran mereka, yang terjadi karena diintimidasi atau dibbunuh."[34]
Ketiga, di dalamnya Ibnu Hazm mengkritik beberap perkataan yang ada di dalam beberapa karya para pendeta (al-ahbâr), seperti Talmud Babel (Babylonia), buku syair Quma, buku Sadr Nashem dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa para pendeta –yang orang-orang Yahudi mengambil ajaran agama mereka—adalah para musyabbihah-musyrikin, bahkan kafir, harus –menurut Ibnu Hazm—tidak diyakini validitasnya, diragukan amanahnya dalam menjaga teks Taurat: selamat dari tahrîf dan tabdîl.
Theodore Pulcini dalam bukunya Exegesis as Polemical Discourse, Ibn Hazm on Jewish and Christian Scripture, sebagaimana yang dikutip oleh Samîr Qudûrî, mencatat tujuan-tujuan hujjah Ibnu Hazm (aghrâd al-hujaj al-hazmiyah) yang terdapat dalam sentral kritik ketiganya ke dalam sembilan hal:
- Mengkritik teks-teks yang dengannya menuduh –mencemarkan nama baik—para nabi.
- Mengkritik teks-teks yang di dalamnya terdapat tajdîf –pengucapan kata-kata kufur dan tidak senonoh—terhadap Allah.
- Mengkritik teks-teks yang mengandung kesalahan matematis (aghlâth hisâbiyah).
- Mengkritik teks-teks yang mengandung kesalahan historis (historical errors).
- Mengkritik teks-teks yang kontradiktif dengan ilmu Geografi.
- Menjelaskan pertentangan dalam teks-teks Taurat.
- Memberikan warning atas berbagai kemustahilan rasional yang ada di dalam Taurat.
- Mengkritik teks-teks yang mengandung tasybîh (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya.
- Mengkritik teks-teks yang memiliki signifikansi syirik (al-maghzâ al-syirkî) atau penisbatan anak-anak laki-laki dan perempuan kepada Allah.[35]
Itulah tiga sentral kritik Ibnu Hazm terhadap PL. Kritik Ibnu Hazm benar-benar ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Contoh-contoh riil dari kriti Ibnu Hazm sebenarnya tidak sulit dicarikan buktinya di dalam Taurat.
Sekedar contoh, di dalam Kitab Imamat 11: 20 disebutkan bahwa "unggas berkaki empat". Atau, kelahiran anak perempuan memiliki masa nifas dua kali lebih banyak (Imamat 12: 1, 2, 5). Ini adalah salah satu bentuk kemustahilan yang ada di dalam Taurat, yang diklaim sebagai ‘Firman Tuhan’.
Ibnu Hazm juga tidak hanya mengkritik Taurat, tapi juga mengkritik Injil (Gospels). Menurutnya, empat Gospels tidak terinspirasikan (not inspired), tetapi telah di-tahrîf (corrupted).
Menurutnya, keempat Injil tersebut ditulis oleh empat orang, sebuah sudut pandangan (a viewpoint) yang, ia ingin menyatakan, yang dipakai (digunakan) oleh semua sekte Kristen. Sayangnya, terma-terma yang digunakannya, menurut Dr. Muhammad M. Abu Laylah, sedikit ambigu (slightly ambigous). Hal itu menjadi tidak jelas, apakah beliau ingin menyatakan bahwa seluruh umat Kristen pada masa itu sepakat tentang penulis keempat Gospels tersebut dan seluruh kumpulan Perjanjian Baru (selanjutnya disingkat PB) telah ditetapkan secara tradisional (traditionally stated), atau kesepakatan pendapat Kristen terhadap empat Gospels tidak terinspirasi (inspired). Tapi, tampaknya maksud Ibnu Hazm adalah seluruh Kristen menganggap seluruh Gospels itu ditulis oleh empat individu, dengan semua kemungkinan adanya perbedaan yang terjadi secara tidak langsung.[36]
Selanjutnya pendapat al-Syahrastanî. Beliau berpendapat bahwa umat Islam telah menjelaskan bahwa kedua umat –Yahudi dan Kristen—telah menukar dan men-tahrîf, dan ‘Isa as. merupakan penentu (muqarrir) apa yang dibawa oleh Musa as. Keduanya –Musa dan ‘Isa—pemberi kabar gembira tentang datangnya Nabi kita Muhammad Saw., nabi kasih sayang (nabiy al-rahmah), shalawâtullâhi ‘alayhim ajma‘în. Dan para imam, para nabi dan para penulis mereka telah memerintahkan untuk hal itu.
Para pendahulu mereka telah membangun benteng (al-hushûn wa al-qulâ‘) di dekat kota Madinah untuk melindungai –membela—Rasulullah Saw., nabi akhir zaman. Para pendahulu mereka telah menyuruh mereka untuk meninggalkan negeri mereka di Syam, agar menempati benteng-benteng dan tempat tersebut. Hal itu mereka lakukan sampai Nabi Saw. datang dan muncul dari Faran[37]. Namun ketika beliau bermigrasi ke negeri hijrahnya, Yatsrib, mereka meninggalkannya. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman: "...padahal sebelumnya mereka biasa (memohon kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Alla-lah atas orang-orang yang ingkar itu." [38]
Tentang Taurat, al-Syahrastânî menjelaskan:
"Ketahuilah, Taurat itu seluruhnya mencakup isyarat-isyarat dan ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan syariat Nabi kita al-musthafâ ‘alayhissalâm yang benar, dan pemilik syariat itu adalah orang yang jujur. Merupakan kedunguan apa yang telah mereka tahrîf, mereka rubah dan mereka tukar, apakah itu tahrîf dari segi tulisan dan bentuk, atau tahrîf dari segi penafsiran dan penakwilan."[39]
Yang paling nyata, menurut al-Syahrastânî, adalah penyebutan Ibrahim as. dan puteranya Isma‘il, doa beliau untuk anaknya, untuk keturunannya dan pengabulan Tuhan atas doa tersebut: "Aku benar-benar memberkati Isma‘il dan keturunannya, Aku menjadikan kebaikan seluruhnya untuk mereka dan Aku akan menonjolkan mereka atas seluruh bangsa, dan Aku akan membangkitkan seorang nabi dari mereka yang membacakan ayat-ayat-Ku kepada mereka."[40]
Kristus di dalam Injil menyatakan: "Aku datang tidak untuk menghapus hukum Taurat, tetapi untuk menyempurnakannya. Pemilik Taurat menyatakan: "Jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, dan gigi dengan gigi, dan luku itu ada qishâs-nya (balasannya). Dan aku berkata: "Jika –seorang—menampar pipimu yang sebelah kanan, berikan pula pipi kirimu."
Dan syariat terakhir telah memuat keduanya. Tentang qishâsh ada di dalam firman Allah:"Kutiba ‘alaykumu al-qishâsha fi al-qatlâ."[41], dan tengan memberi maaf (al-‘afw) terdapat di dalam firman Allah: "Wa an ta‘fû aqrabu li al-taqwâ."[42]
Di dalam hukum-hukum Taurat terdapat: hukum-hukum politik zahir-umum, di dalam Injil: hukum-hukum politik batin-khusus, sedangkan di dalam Al-Qur'ân terdapat keduanya: "Wa lakum fî al-qishâshi hayâtyb"[43] menunjuk pada realisasi politik zahir. Dan firman Allah:"Wa an ta‘fû aqrabu li al-taqwâ" dan firman-Nya: "Khudz al-‘afwa wa'mur bi al-‘urfi wa a‘ridh ‘an al-jâhilîn"[44] menunjuk pada realisasi politik batin.[45]
Dalam hal ini, al-Syahrastânî ingin menjustifikasi konsep naskh. Menurut naskh itu sejatinya bukan ibthâl (penghapusan atau pembatalan), tetapi merupakan penyempurnaan (takmîil). Di dalam Taurat terdapat hukum-hukum yang bersifat umum dan khsusus, baik itu berkaitan dengan orang maupun waktu. Jika waktunya telah habis, maka mustahil untuk kekal. Dan itu tidak disebut sebagai ibthâl atau badâ'.[46]
Namun, umat Yahudi dan Kristen tidak menerima Islam ini. Umat Yahudi tidak menerima Yesus dan Muhammad sebagai pengganti Musa. Kristen tidak mengakui Muhammad sebagai pengganti Yesus Kristus. Padahal Islam menerima kenabian Musa dan Yesus sekaligus kitab suci mereka. Di sini tampak sekali bahwa Yahudi-Kristen melakukan tahrîf, guna mengaburkan isi Al-Qur'ân dan kenabian Muhammad Saw.
SCIENTIFIC ERRORS ADALAH BUKTI TAHRIF ISI BIBEL
Salah satu buki konkret bahwa Bibel itu bukan 100% Firman Allah adalah adanya bukti-bukti kesalahan ilmiah yang sangat mencolok. Salahsatunya adalah kesalahan-kesalahan ilmiah yang ada di dalamnya. Dalam masalah penciptaan bumi (alam semesta) ayat-ayat Bibel begitu kontradiktif dengan teori ilmiah yang valid.
Bibel merupakan kitab suci yang sangat tidak ilmiah. Sehingga, banyak sekali scientific errors yang ditemukan di dalamnya. Kesalahan-kesalahan tersebut secara de factomembuktikan bahwa Bibel –banyak ayatnya—merupakan buatan manusia, bukan –seluruhnya—wahyu Allah.
Sebagai contoh, Kitab Kejadian (1: 1-5) bercerita tentang penciptaan alam:"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, bumi belum berbentuk, dan masih kacau balau. Samudra yang bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah bergerak di atas permukaan air. Allah berkata, "Jadilah terang!" Lalu ada terang. Allah senang melihat hal itu. Lalu dipisahkannya terang itu dari gelap, dan dinamakan-Nya terang itu "Siang" dan gelap itu "Malam". Malam lewat, dan jadilah pagi itu. Itulah hari yang pertama."
Dalam hal ini, Syeikh al-Faqîh ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaththâb ‘Alâ' al-Dîn al-Bâjî al-Syâfi‘î (w. 714 H) menyebutkan 55 bentuk pembacaan terhadap Kitab Kejadian ini. Tapi, kita hanya menyebutkan pembacaan pertama saja. Model pembacaan pertama ini dapat dilakukan dari tiga poin:
Pertama, bagaimana mungkin dikatana "pada mulanya". Allah menciptakan "langit dan bumi", artinya pada hari pertama. Setelah itu disebutkan bahwa "langit dan bumi" diciptakan pada hari kedua dan ketiga. Karena Allah pada hari kedua berkata, "Kemudian Allah berkata, "Jadilah kubah untuk membagi air". Dan setelah itu Allah berkata, "Demikianlah Allah membuat kubah", kemudian Dia berkata, "Kubah itu dinamakan-Nya "langit". Kemudian, pada hari ketiga Allah berkata:"Hendaklah terjadi tanah, maka terjadilah. Allah menamakan daratan itu "Tanah". (Kitab – Kejadian 1: 9-13).
Jika langit dan bumi itu telah diciptakan pada hari kedua dan ketiga, maka keduanya belum diciptakan pada "hari pertama". Bahkan, zahir lafadznya: Yang diciptakan pada hari pertama adalah: samudra dan kegelapan (gelap gulita), kemudian cahaya (terang), malam dan siang. Kemudian pada hari kedua: langit, dan pada hari ketiga: bumi.
Jadi, penciptaan langit dan bumi pada pertama kali bukan berdasarkan hari, karena penciptaan langit pada hari kedua dan bumi pada hari ketiga. Hal itu juga bukan berdasarkan ciptaan-ciptaan, karena sebelum langit dan bumi adalah penciptaan gelap, samudra, cahaya, malam dan siang, berdasarkan zahir lafadz tersebut. Kata fi al-bad'i (pada mulanya) merupakan pengganti kata fi al-awwal (pertama). Dari segi makna kedua kata tersebut berdekatan.
Kedua, bagaimana mungkin dapat dikatakan: "Lalu Allah memisahkan antara terang dan gelap? Karena secara zahir, ketika penciptaan cahaya (terang), keduanya bercampur. Maka keduanya membutuhkan satu pemisah untuk membedakannya, seperti bercampurnya baiji/tanaman gandum (al-hinthah) dan tepung gandum (al-sya‘îr). Tentunya tidak demikian. Cahaya (terang) sama sekali tidak mungkin bersama gelap (kegelapan), apalagi keduanya bersatu. Sehingga kedunya membutuhkan pemisah.
Seseorang yang menyalakan lampu dalam satu rumah yang gelap tidak mungkin berkata: "Telah berkumpul di rumah ini cahaya (terang) dan gelap (kegelapan). Maka, keduanya butuh pemisah." Namun, gelap (kegelapan) akan hilang hanya dengan menghidupkan lampu tersebut. Verifikasinya: gelap artinya tidak ada cahaya, maka cahaya itu tidak berkumpul (bersatu) bersama gelap, sampai ia membutuhkan pemisah –untuk memisahkan keduanya.
Ketiga, bagaimana dapat dikatakan: "Allah menamakan terang itu "Siang", dan gelap gulita itu "Malam"? Zahir lafadz tersebut: malam dan siang diciptakan pada hari pertama. Dan keduanya gelap dan terang begitu saja, tanpa "matahari". Karena matahari baru ada pada hari keempat, sebagaimana disebutkan setelah ini dalam pembacaan ketiga.[47] Padahal, secara otomatis nalar kita menyatakan bahwa cahaya (terang) itu ada karena adanya cahaya matahari, sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli hikmah. Cahaya (terang) yang bertindak sebagai antitesa dari gelap di dunia ini tidak ada lain kecuali cahaya matahari.
Masalah ini tidak mungkin dibantah (dipungkiri) oleh siapapun. Sebelum adanya matahari, tidak mungkin ada cahaya (terang). Sejatinya, pertanyaan tentang hal ini adala dua. Pertama, zahir lafadz ayat di atas adalah: malam dan siang diciptakan pada hari pertama, sementara matahari tempat munculnya siang diciptakan pada hari keempat. Kedua, siang ada tanpa cahaya matahari, padahal realitanya justru sebaliknya.[48]Contoh lain adalah penciptaan tumbuh-tumbuhan, yaitu jenis yang menghasilkan biji-bijian dan jenis yang menghasilkan buah-buahan. Penciptaannya terjadi pada hari ketiga. Padahal, matahari –seperti yang sudah disinggung sebelumnya—baru diciptakan pada hari keempat.
Bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan dapat hidup tanpa cahaya matahari.[49] Bahkan, dalam Bibel tumbuh-tumbuhan diciptakan lebih dulu daripada manusia (Adam). Dalam Kitab Kejadian pasal pertama, setelah Allah menciptakan langit dan bumi, hewan-hewan, kemudian Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan. Setelah itu –pada pasal kedua—barulah Allah menciptakan Adam. Hanya saja, pada pasal kedua tersebut, Allah menyatakan bahwa setelah Dia menciptakan Adam, Ia menanami surga dengan berbagai tanaman dan menghidupkan tanah. Secara ilmiah ini tidak benar, karena penciptaan manusia tidak sezaman dengan penciptaan tumbuh-tumbuhan. Bahkan, tumbuh-tumbuhan itu lebih dulu muncul. Sebagai pendapat menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan telah mendahului manusia milyaran tahun lamanya. (Kitab – Kejadian 1: 29 dan 2: 7-8).
Memang, dalam masalah penciptaan alam semesta, Bibel begitu kontradiktif dengan fakta ilmiah yang ada. Belum lagi di dalamnya banyan terdapat pertentangan yang luar biasa.
Dr. K. Riedel (Pendeta Ahli Tafsir Alkitab) dalam bukunya "Tafsiran Injil Matius" (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1963, hal. 18) menyatakan: "Tiap-tiap pembaca kitab-kitab Injil memang mengetahui bahwa isi suatu kitab Injil tidak selalu cocok dengan kitab Injil yang lain."
"...............percetakan Perjanjian Lama bahasa Ibrani, percetakan-percetakan yang terkuno adalah berdasarkan manuskrip-manuskrip yang kemudian hilang, sehingga cetakan-cetakan itu masih penting juga untuk textual criticism. Cetakan pertama yang komplit itu diterbitkan tahun 1488 di Soncino di Italia. Cetakan yang sangat penting ialah yang disediakan oleh Yakob ben Chajim diterbitkan oleh Daniel Bomberg pada tahun 1525/5 di kota Venetia", tulis Dr. Mr. D.C. Mulder dalam "Pembimbing ke Dalam Perjanjian Lama" (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1963, hal. 274).[50]
Tentang penciptaan alam semesta, Dr. Walter Lempp dalam bukunya "Tafsiran Kejadian" (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964) pada hal. 58 menyatakan: "Susunan semesta alam yang diuraikan Kitab Kejadian I tidak dapat dibenarkan lagi oleh ilmu pengetahuan modern" dan di hal. 65 melanjutkan tulisannya: "Pandangan Kejadian I dan seluruh Alkitab tentang susunan semesta alam berlandaskan ilmu kosmografi bangsa Babel. Pandangan itu sudah ketinggalan jaman."[51]
EPILOG
Seperti yang telah disinggung di bagian terdahulu, bahwa tidak sulit untuk mengungkap kepalsuan Bibel. Fakta-fakta yang kita sebutkan di dalam tulisan ini merupakan bukti bahwa Bibel tidak 100% Firman Allah. Maka benar apa yang diklaim oleh Al-Qur'ân bahwa di dalamnya banyak terdapat tahrîf. Apalagi fi‘l (kata kerja) yang disebutkan di dalam Al-Qur'ân dalam bentuk fi‘l al-mudhâri‘, yang menunjukkan kontinuitas (al-istimrâriyah). Dengan demikian, kapan saja dan di mana saja, mereka bisa melakukan tahrîf, sesuai dengan kondisi dan situasi yang mereka hadapi.
Seorang peneliti Barat, Alferd E. Garvie dalam Encylopaedia of Religions and Ethics, seperti yang dikutip oleh Dr. Ahmad Syalabi, menyatakan bahwa filsafat Greek (Yunani) dan undang-undang Romawi mempengaruhi kodifikasi Injil, dan -- keduanya –telah menjadikan Injil-Injil tersebut tidak memerankan hakikat Kristen. Seorang peneliti gereja yang ‘jurdil‘ (al-munshif) tidak mampu, meskipun hanya sekejap, untuk memungkiri bahwa berbagai pemikiran palsu, maksud tidak mulia dan tujuan yang salah, merupakan penyebab utama yang hegemonik: yang sampai mendorong penukaran yang terjadi pada Injil-Injil tersebut.[52]
Berbeda dengan Al-Qur'ân, ia memiliki semacam standar untuk mengukur antara kitab suci yang benar-benar Firman Allah, atau ucapan manusia. Secara tegas Al-Qur'an menjelaskan, "Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur'an, sekirannya ia berasal dari sisi selain Allah, niscaya mereka akan menemukan pertentangan yang banyak."[53]
Dalam ayat yang lain Allah menyatakan, "Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur'ân atau hati mereka tertutup."[54]al-Qur'ân benar-benar kitab suci yang ‘berani‘ untuk diuji orisinialitas dan autentisitasnya oleh siapapun yang ingin melakukannya.
Dengan demikian, kritik Al-Qur'ân benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sehingga, ia benar-benar kitab suci yang tetap terjaga autentisitasnya; sejak ia diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sampai akhir zaman. Wa'lLâhu a‘lamu bi al-shawâb. []
[Dari Qosim Nursheha Dzulhadi | Peminat Kajian Pemikiran, Ke-Qur'ânan, dan Kristologi]
CATATAN KAKI
[1] Di dalam Al-Qur'ân, ada empat tempat yang menyebutkan tahrîf ini; (1) Qs. Al-Baqarah [2]: 75, (2) Qs. Al-Nisâ' [4]: 46, (3) Qs. Al-Mâ'idah [5]: 13, dan (4) Qs. Al-Mâ'idah [5]: 41.
[2] Fungsi Al-Quran ini sangat gamblang dijelaskan oleh Allah Swt., "Dan kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur'ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian..." (Qs. Al-Mâ'idah [5]: 48). Abdullah Yusuf Ali memiliki komentar yang sangat baik tentang ayat ini. Beliau menyatakan, "After the corruption of the older revelations, the Qur'an comes with a twofold purpose: (1) To confirm the true and original Message, and (2) To guard it, or act as a check to its interpretation. The Arabic word Muhaimin is very comprehensive in meaning. It means one who safeguards, watches over, stands witness, preserves, and upholds. The Qur'an safeguards "the Books", for it has preserved within it the teaching of all the former Books. It watches over these Books in the sense that it will not let their true teachings to be lost. It supports and upholds these Books in the sense that it corroborates the Word of Allah which has remainded intact in them. It stands a witness because it bears testimony of the Word of Allah contained in these Books and helps to sort it out from the interpretations and commentaries of the people which were mixed with it: What is confirmed by the Qur'an is the Word of Allah and what is aginst it is that of the people." (The Glorious Qur’an, Translated to English by Abdallah Yousuf Ali, corrected and revised by F. Amira Zrein Matraji, (Beirut: Dar el-Fikr, 2000), hlm. 272 (foot-note).
[3] Qs. Al-Mâ'idah [5]: 13. Lihat: al-Mu‘jam al-Wasîth, (Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyah: Isntabul-Turki, al-Maktabah al-Islâmiyah, ttp), hlm. 167, bab huruf hâ' (harrafa).
[4] Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut-Lebanon: Dar Sader, jilid IV, cet. I, ttp), hlm. 89-90, bab huruf hâ' (harrafa).
[5] Abu al-Qâsim al-Husayn ibn Muhammad (dikenal dengan al-Râghib al-Ashfahânî, w. 502 H), al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, (Cairo: Dar al-Hadîts, ttp), hlm. 114, bab huruf hâ' (harf).
[6] Di sini tampaknya pendeta ini ingin menyalahkan metode tafsir bi al-ra'yi yang ada dalam tradisi keilmuan Islam. Tentu saja tidak semudah itu menyalahkan metdodologi penafsiran bi al-ra'yi ini. Karena para ulama sendiri telah memberikan aturan yang sangat jelas. Sehingga mereka membagi penafsiran model ini kepada dua. Pertama, tafsir bi al-ra'yi yang terpuji (mahmûd). Dan kedua, tafsir bi al-ra'yi yang tercela (madzmûm). Selain itu, ulama juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-ra'yu adalah al-ijtihâd, bukan akal an sich.
[7] Lihat lebih lanjut, al-Qiss ‘Abd al-Masîh Basîth Abu al-Khayr, Hal Yumkinu Tahrîf al-Kitâb al-Muqaddas?, serial As’ilah fî al-Kitâb al-Muqaddas (1), (Mesir: Mathba‘ah al-Mishriyîn, cet. I, 2003), hlm. 7. Lihat juga bukunya al-Wahyu al-Ilâhî wa Istihâlatu Tahrîf al-Kitâb al-Muqaddas, dalam serial Dirâsât fî Lâhût al-Kitâb al-Muqaddas (3), (Mesir: Mathba‘ah al-Mishriyîn, cet. I, 1998).
[8] Dr. Dawud Riyâdh Arsanius, Man Yaqdiru ‘alâ Tahrîf Kalâm Allâh?, (Cairo: Gereja Qashr al-Dawbârah al-Injîliyah, ttp), hlm. 5. Pendeta ini juga yang membuat resah masyarakat Muslim beberapa waktu lalu, karena ia menulis buku Mâ Hiya Hatmiyah Kaffârah al-Masîh. Buku ini ternyata –meskipun disebutkan sebagai buku akidah Kristen—telah luas dibagikan dalam komunitas umat Islam. Buku ini kemudian dibantah oleh Dr. Muhamad Imarah lewat buku kecil yang berjudul Munâqasyât Hâdifah: Radd al-Azhar ‘alâ Kitâb Mâ Hiya Hatmiyah Kaffârah al-Masîh? Wa Taqrîr ‘an Arba‘i Rasâ'il Jildiyah li Rasûlillâh (Shalla Allâhu ‘alayhi wa Sallama). Buku ini dimuat sebagai hadiah dalam majalah Al-Azhar bln Rabi‘ul Awwal 1426H.
[9] Perhatikan, pendeta ini telah menolakan adanya ‘Nabi yang lain‘ yang akan datang setelah Yesus Kristus. Bahkan parakletos menurut mereka adalah ‘Roh Kudus‘. Insya Allah, kita akan membantah kebohongan ini pada waktunya.
[10] Lihat lebih lanjut dalam al-Qiss Abu al-Khayr, Hal Yumkinu Tahrîf al-Kitâb al-Muqaddasi?, op.cit., hlm. 11-12.
[11] Qs. Al-Mâ'idah [5]: 44.
[12] Qs. Al-Mâ'idah [5]: 46.
[13] Qs. Al-Mâ'idah [5]: 48.
[14] Mungkin maksudnya adalah Injil dan Al-Qur'ân saja, tidak termasuk Taurat. Karena Taurat merupakan kitab samawi paling sulung. Jadi, yang menjadi mushaddiq Taurat dalam Injil, dan yang menjadi mushaddiq Injil adalah Al-Qur'ân.
[15] Dr. Sya‘bân Muhammad Ismâ‘il, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘î, cet. I, jilid II, 1994), hlm. 178 (dikutip seperlunya).
[16] Al-Qiss ‘Abd al-Masîh Basîth Abu al-Khayr, Hal Tanabba’a al-Kitâb al-Muqaddas ‘an Nabiyyin Âkhar Ya’ty ba‘da al-Masîh, dalam serial Apologetics/al-Lâhût al-Difâ‘î (1), (Mesir: Mathba‘ah Bayt Madâris al-Ahad, cet. I, 2004), hlm. 7.
[17] Ibid., hlm. 146-147.
[18] Kata ‘Penolong‘ dalam Injil Yohanes dalam Injil berbahasa Inggris diterjemahkan dengan Comforter, dan dalam Injil berbahasa Arab diterjemahkan dengan al-Mu‘azzy. Artinya sama-sama ‘Penghibur‘.
[19] Ahmed Deedat, The Choice: Dialog Islam-Kristen, terjemah: Dr. Setiawah Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. IX, 2003), hlm. 60.
[20] Ibid., hlm. 64-65.
[21] Lihat bukunya, Hal Yumkinu Tahrîf al-Kitâb al-Muqaddas?, op. cit., hlm. 20-29.
[22] Prof. Dr. M. M. Al-A‘zami, The History of The Qur'ânic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and the New Testaments (Sejarah Teks Al-Qur'ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), terjemah: Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, Ugi Suharto dan Lili Yulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2005), hlm. 312. Selanjutnya akan disingkat dengan The History of The Qur'ânic Text.
[23] Ibid., hlm. 313-314. Lihat juga, Dr. Hamid Qadri, Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen, terjemah: Masyhur Abadi & Lis Amalia R, (Surabaya: Pustaka Da‘i, cet. I, 2004).
[24] Qs. Al-Nisâ' [4]: 157.
[25] Lihat penolakan Injil atas dogma ‘Penyaliban‘ dalam Yasir Anwar, Âlâm al-Masîh, (Cairo: Maktbah Wahbah, cet. I, 2004).
* Lihat Muhammad in the Bible, karya Prof. Abdu l-Ahad Dawud mantan uskup Uramiah, hal. 10.
[26] Abu Mahmoud Muhajir, Doktrin Gereja Kontra Bibel, terjemah: Masyhud SM., (Surabaya: Pustaka Da‘i, cet. I, 2002), hlm. 73-74.
[27] Dr. Hamid Qadri, Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen, terjemah: Masyhur Abadi & Lis Amalia R., (Surabaya: Pustaka Da‘i, cet. I, 2004), hlm. 77.
[28] Samîr Qudûrî, Haqâ’iq Jadîdah bi Sya’ni Naqd Ibn Hazm li Asfâr al-Tawrâh, (dalam jurnal AL-FAYSAL, edisi 347, Jumadil Ula 1426 H-Juni-Juli 2005 M), hlm. 43.
[29] Maksud dari kitab yang lima (al-asfâr al-khamsah) itu adalah: (1) Kitab Kejadian, (2) Kitab Keluaran, (3) Kitab Imamat, (4) Kitab Bilangan, dan (5) Kitab Ulangan. Kelimat kitab inilah yang diklaim oleh umat Kristen sebagai Taurat Musa. Tetapi, saat ini, keyakinan yang menyatakan Musa sebagai pengarang Taurat ditolak oleh teolog Yahudi-Kristen. Salah seorang yang menyatakan bahwa Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat adalah Jerome (kira-kira 342-420). Ia menerjemahkan Septuagint ke dalam bahasa Latin (Vulgata) dan terjemahnya dianggap textus receptus bagi kalangan Kristen. Menurut Jerome, terdapat sejumlah paragpraf dalam Taurat yang bukan karangan Musa. Namun, paragraf-paragraf tersebut telah dimasukkan oleh penulis lain. Menurutnya, "until this day" dalam Kejadian 35: 4 (LXX) dan Ulangan (34: 5-6) menunjukkan paragraf-paragraf tersebut ditulis setelah periode Musa. Pada abad kedua belas, Abraham ibn Ezra (1092-1167), seorang sarjana Yahudi berpendapat bahwa sejumlah paragraf di dalam Taurat yang menunjukkan bahwa Musa bukanlah pengarang Taurat. Pada tahun 1520, Andreas Bodenstein, yang lebih dikenal dengan Karistadt dalam karyanya menulis buku kecil mengenai Kanonisasi Kitab Suci (De canonicis Scripturis libellus). Dalam karyanya tersebut, Karistadt menegaskan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat. Pada zaman modern, kritik terhadap pendapat Musa sebagai pengarang keseluruhan isi Taurat semakin bergema. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang filosof Inggris dalam karyanya Leviathan, yang diterbitkan pada tahun 1651, misalnya menyatakan Kejadian 12: 6 dan Bilangan 21: 14, bukanlah karangan Musa. Isaac de La Payrere (1592-1676), seorang pastor Protestan, berpendapat bahwa pengarang Taurat lebih dari seorang. Sebabnya, banyak kisah dalam Taurat yang kabur (obscurity), membingungkan (confusion), tidak lengkap (unfinished), terdistorsi (disorted), dan bertentangan (contradictions). Baruch Spinoza (1632-1677), yang mengganti nama Yahudinya dengan bahasa Latin Benedict de Spinoza, adalah seorang filosof dan teolog Yahudi yang menolak keimanan sebagai titik tolak mengkaji Alkitab. Baginya, Alkitab harus dikaji dengan semangat penuh kebebasan tanpa prejudis keimanan. Spinoza, yang diusir dari komunitas Yahudi di Amsterdam, menegaskan Musa bukanlah pengarang Taurat. Alasannya sebagai berikut: (1) Penulis Taurat bukan saja berbicara tentang Musa sebagai orang ketiga, tetapi juga menyaksikan berbagai perkara yang detail mengenainya. Seperti ‘God talk with Moses,‘ ‘God spake with Moses face to face,‘ Moses was the meekest of men,‘ (Numbers 12: 3), ‘Moses was wrath with the captains of the host,‘ (Numbers 31: 14), ‘Moses, the man of God,‘ (Deuteronomy 33: 1), Moses, the servant of God, died,‘There has never arisen in Israeil a prophet like Moses,‘ dan lain sebagainya. (2) Taurat bukan saja memuat kematian Musa, penguburannya, dan 30 hari ratapan orang-orang Yahudi, tetapi juga perbandingan antara Musa dengan semua nabi-nabi yang datang setelahnya. (3) Taurat memuat berbagai nama tempat yang ada setelah zaman Musa. (4) Berbagai kisah terkadang bersambung setelah meninggalnya Musa. (Lihat, Adnin Armas, Orientalis dan Studi Al-Qur'an, (makalah yang disampaikan dalam Workshop Pemikiran Islam Kontemporer di Cairo (Dâr al-Munâsabât), tanggal 19-21 Februari 2006), hlm. 1-2.
[30] Disebut al-warrâq, karena umat Kristen mengklaim bahwa Bibel ditulis kembali oleh Ezra. Padahal Taurat itu telah hilang selama berabad-abad. Sangat menarik apa yang dipaparkan oleh Dr. M. M. A‘zami. Mengutip Aaron Demsky, ia berkata:
"Ciri lain tentang tahun sabbat adalah pembacaan Taurat secara publika sewaktu hari raya Booth..., yang mengakhiri tahun itu (Ulangan 31: 10-13). Tidak terdapat bukti tekstual yang memperlihatkan perayaan tahun-tahun sabbat dan jubilee pada masa Rumah Tuhan yang Pertama. Pada kenyataannya, pengarang Tawarikh ...menyatakan bahwa 70 tahun sabbat dari penaklukan Kanaan oleh bangsa Israel sampai runtuhnya Rumah Tuhan tidak pernah ditaati." The History of The Qur'ânic Text, op. cit., hlm. 255.
[31] Samîr Qudûrî, op. cit., hlm. 45-47.
[32] Ketiga Kitab yang dimaksud Ibnu Hazm itu adalah: (1) Amsal, (2) Pengkhotbah, dan (3) Kidung Agung.
[33] Satu generasi setelah Pengasingan, Babel jatuh ke kekuasaan Persia; orang-orang Yahudi diizinkan kembali ke tanah air mereka dan sedikit dari mereka yang menerima tawaran ini. Mereka kemudian mendirikan Rumah Tuhan pada tahun 515 SM. Pada masa Rumah Tuhan Kedua inilah Nabi Ezra pertama kali mulai upacara pembacaan Taurat secara publika (kira-kira 449 SM). Ia lebih merupakan tokoh agama daripada tokoh politism dan –karenanya—telah menjadi pendiri Yudaisme yang legal dan senantiasa sangat berpengaruh dalam pemikiran Yahudi sepanjang abad-abad berikutnya. Lihat, The History of The Qur'ânic Text, op. cit., hlm. 249.
[34] Samîr Qudûrî, op. cit., hlm. 48-49.
[35] Ibid.
[36] Lebih detail dan komprehensif dapat dilihat: Dr. Muhammad M. Abu Laylah, The Qur’an and the Gosples: A Comparative Study, (Cairo: Al-Falah Foundation for Translation, Publication & Distribution, cet. III, 2005), hlm. 76-94.
[37] Faran adalah nama bukit di Hijaz, tempat kemunculan Nabi Muhammad Saw.
[38] Qs. Al-Baqarah [2]: 89. Lihat, Abu al-Fath Muhammad al-Karîm ibn Abî Bakar Ahmad al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. II, 2002), hlm. 169. Dalam hal ini, mereka telah men-tahrîf nubuwat (ramalan) tentang kedatangan seorang Nabi. Hal ini akan merembet kepada penafsiran letterlijk (literal) terhadap teks-teks Bibel yang secara jelas meramalkan kedantangan Nabi Muhammad Saw. Contohnya adalah penafsiran kata paracletos atau pericletos, yang mereka tafsiran sebagai ‘Roh Kudus‘. Istilah ‘Penolong Lain‘ yang ada di dalam Injil Yohanes pasal 14, 15 dan 16 ditafsirkan oleh mereka –juga—sebagai ‘Roh Kudus‘, bukan Nabi Muhammad Saw., padahal dengan nyata ayatnya menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi Saw.
[39] Ibid., hlm. 172.
[40] Ibid.
[41] Qs. Al-Baqarah [2]: 178.
[42] Qs. Al-Baqarah [2]: 237.
[43] Qs. Al-Baqarah [2]: 189.
[44] Qs. Al-A‘râf [7]: 199.
[45] Al-Syahrastânî, op. cit., hlm. 173.
[46] Ibid.
[47] Pembacaan ke-2 sampai ke-55 tidak kita kutip, karena sangat panjang untuk dipaparkan.
[48] Syeikh al-Faqîh ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaththâb ‘Alâ' al-Dîn al-Bâjî al-Syâfi‘î (w. 714 H), ‘Alâ al-Tawrâh: Kitâbun fî Naqd at-Tawrâh al-Yûnâniyah, tahqîq: Dr. Ahmad Hijâzî as-Saqaa, (Cairo: Dâr al-Anshâr, cet. I, 1980), hlm. 19-20. Hemat penulis, buku ini merupakan buku yang sangat baik dan kritis dalam membantah isi Taurat (dari Kitab Kejadian sampai Kitab Ulangan).
[49] Lihat Kitab Ulangan 1: 11-16.
[50] Robert A. Morey, The Islamic Invasion (Islam yang Dihujat), terjemah: Sadu Suud, (Bekasi-Indonesia: CV. Focus Muslimedia, cet. II, 2005), hlm. 138-139, dalam ‘Catatan Pinggir‘ Sadu Suud.
[51] Ibid.
[52] Dr. Ahmad Syalabi, al-Masîhiyah, dalam serial Muqâranat al-Adyân (2), (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, cet. X, 2000), hlm. 227-228.
[53] Qs. Al-Nisâ' [4]: 82.
[54] Qs. Muhammad [48]: 24.
No comments:
Post a Comment