Secara teritorial, pada tahun 284 M. kaisar Diocletian menghasilkan keputusan strategis untk membagi kekaisaran Romawi dalam dua teritori dengan penguasanya sendiri-sendiri, untuk alasan keamanan dan kemudahan administrasi. Penyatuan kekaisaran dilakukan kembali oleh Konstantin setelah ia mengalahkan penguasa Romawi Timur, tetapi kemudian terbagi lagi pada tahun 392 M. saat Theodosius I membagi kembali teritori kekuasaan Kekaisaran kepada dua anaknya yang masih kecil, wilayah timur untuk anaknya Arcadius yang masih berumur 18 tahun, dan bagian barat kepada Honorius yang masih berumur 10 tahun. Tindakan ini menandakan awal kehancuran kekaisaran Romawi. Gereja Barat dikepung dan oleh bangsa barbar, sedangkan Gereja Timur akan menghadapi tekanan dari Kerajaan Persia dan Muslim.
Kembali pada masa kekuasaan Konstantin, Pada masa awal pertumbuhan kekristenan, paska digelarnya konsili nikea, polarisasi antara gereja wilayah Romawi barat dan timur mulai meruncing. Pada dasarnya perbedaan utama kedua gereja tersebut terletak pada kecenderungan mereka terhadap penerimaan baik paham Arian maupun Athanasius. Gereja barat yang dimotori kekaisaran dapat menerima sepenuhnya kredo Nikea yang dipengaruhi pemikiran Tertullian dan Athanasius. Sedangkan di pihak lain gereja Timur lebih dipengaruhi Arian dan pemikiran Origen bahwa anak (Yesus) lebih rendah dari Bapak. Pendukung doktrin Arian terutama adalah Kaisar Konstantin dan anak-anaknya. Nantinya, Gereja Timur akan berpusat di Konstantinopel, Byzantium, kota yang didirikan oleh Konstantin tahun 330 M. dan menjadi Ibu Kota Romawi guna menggantikan teritori barat yang semakin terancam bangsa barbar.
Konsili Nikea tidak berhasil meredam kekisruhan antar pengikut Kristen, hal ini sangat dirisaukan Konstantin. Konsensus tidak berhasil ditemukan dan Konstantin mendesak agar Athanasius mau berunding kembali, sayangnya pendirian Athanasius terlalu kuat untuk menerima tawaran tersebut. Hal ini membuat sang kaisar putus asa. Ia dan penerusnya menganggap Athanasius sebagai pembuat masalah. Pada tahun 330, sang Kaisar memanggil kembali Arius dan kawan-kawan yang telah diasingkan oleh keputusan Nikea. Ia ingin mengembalikan nama Baik Arius dan pendukungnya. Usaha Konstantin ini didukung oleh Eusebius dari Nicomedia dan Origen, pendukung setia faksi Arius, yang juga haus akan balas dendam terhadap pendukung doktrin Nikea, khususnya Athanasius.
Tindakan paling nekat mereka adalah menyerang Athanasius yang saat itu menjabat sebagai uskup Alexandria menggantikan Alexander. Ia dikeluarkan dari kantornya berdasarkan keputusan Konsili Tyre di tahun 335 M. Dan kemudian dibuang ke Gaul. Tetapi Athanasius adalah orang yang keras kepala dan selalu berusaha untuk pulang kembali ke Alexandria. Bahkan pengusiran Athanasius dari Alexandria sempat dilakukan oleh 6 kaisar yang berbeda. Kebebalan Athanaius sangat dikenal saat itu hIngga sempat muncul frase “Athanasius contra mundum” atau Athanasius melawan dunia. Di tahun yang sama, Arius dan kerabatnya diijinkan untuk mendapat komuni Gereja di konsili Yerusalem. Tetapi semua ini tetap tidak dapat meyakinkan para penatua di Alexandria untuk menerima Arius sepenuhnya. Konstantin selajutnya memanggil Arius ke Konstantinople pada 336 M., dan memerintahkan Alexander, uskup kota tersebut untuk mengijinkan Arius memasuki gereja kota tersebut. Tetapi sebelum hal itu tewujud, Arius keburu tewas akibat penyebab yang misterius, beberapa mencurigai kalau ia diracuni. Beberapa pihak mencurigai bahwa rival Arius berada di balik kematian ini. Konstantin menyusul kematian Arius tidak lama setelahnya.
Walaupun doktrin Arian mungkin akan dirasakan asing oleh umat Kristen awal-generasi Yakobus. Ia mungkin masih memiliki beberapa kesamaan dalam memandang posisi Yesus yang lebih rendah dari Bapa. Bertentangan dengan pandangan kebanyakan, yang menganggap Gereja Barat dengan pusatnya Roma sebagai asal mula penyebaran Kristen, Gereja Timur ternyata memiliki konsep-konsep kekristenan yang lebih tua. Perlu diingat bahwa Penyebaran Kristen awal dimulai di Jerusallem oleh dewan rasul, bukan di Roma. Konsep Kristen Gereja Barat lebih terpengaruh oleh pemikiran Paulus dan pagan Romawi.
Kematian Konstantin mengantar salah satu anaknya, Konstantius, kaisar romawi Timur beserta kalangan terdekatnya untuk tetap mendukung perkembangan doktrin Arius. Saudaranya, Constans yang menguasai gereja barat mendapat dukungan dari faksi konsili Nikea. Kemudian terjadilah berbagai intrik dan pesaingan untuk memperebutkan kekuasaan. Berbagai konsili berbau politik diadakan oleh kedua belah pihak untuk menyerang satu sama lain. Constans meninggal di tahun 350 M., dan dua tahun kemudian sebagianbesar daerah kekuasaanya dikuasai oelh saudaranya, Konstantinus. Peristiwa ini merupakan pukulan telah bagi faksi Nikea. Sang Kaisar merupakan pendukung Arianisme sejati, dan memperlakukan pendukung faksi Nikea dengan penuh kekejaman untuk memasukan mereka ke dalam paham Arian. Sejarah Kristen dalam era Konstantinus dikenal sebagai periode yang kelam. Kaum Arian akhirnya memiliki kesempatan untuk membalas segala perlakuan yang merek dapat paska doktrin Nikea diberlakukan.
Kematian Konstantinus di tahun 362 M. Menandakan berakhirnya masa keemasan Arianisme. Penggantinya, Julianus tidak memiliki pendirian di antara baik paham Arian maupun Ortodoksi Nikean. Julianus adalah seorang Pagan sejati. Selanjutnya Jovian mendukung sentimen ortodox dan menentang Arianisme, akibatnya seluruh bagian Barat mengikuri pandangannya dan kembali mempercayai doktrin Nikea. Tetapi keandaanya mulai berubah saat dua bersaudara Valentinian dan Valens, memasuki kekuasaan tahun 364 M.. Valentinian mendukung keputusan Nikea dan menghabisi seluruh gereja Arian di barat. Bersebrangan dengannya, Valens mengambil posisi Arianisme dan menyerang penyebaran ortodksi di bagian Timur.
Sayangnya sang Kaisar terburu menghadapi perang dengan bangsa Goth di tahun 378 M., Gratian, yang menggantikan Valentinian di Barat, di tahun 376, menjadi penguasa seluruh kekaisaran di tahun 378 - mengembalikan posisi ortodoks ke atas angin. Selanjutnya Theodosius Agung, dengan melarang penyebaran Arianisme di gereja-gereja dan mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak Arianisme, menghasilkan kejayaan Doktrin Nikea di mana-mana. Tidak ada yang berani mengexpresikan pandangan Arianisme kecuali Bangsa Barbar seperti Goth, Vandal, dan Burgundy. Tampaknya sejarah persaingan antar faksi yang penuh kekerasan ini belum bisa berakhir, dengan tidak ada pihak yang bisa dipersalahkan atas kesalahan terbesar. Tahun 382 Konsili Konstantinopel digelar oleh pendukung Athanasius dan berhasil menguatkan posisi ortodoks. Sayangnya kemenangan ini tidak sempat disaksikan Athanasius.
Kaum Arian akan memiliki posisi yang lebih kuat seandainya mereka tidak saling bertikai di dalam faksi mereka sendiri. Sebagaimana diketahui, setelah putusan Nikea diberlakukan, kaum Arian terbagi atas berbagai sekte yang masing-masing darinya mengklaim kebenaran. Beberapa bahkan sudah melenceng jauh dari pemikiran Arius yang sebenarnya. Kaum Arian yang berusaha menafsirkan sendiri pemikiran Arius cenderung memasuki kesalahan yang sama. Terdapat tiga faksi utama dalam tubuh Arianisme, yang pertama adalah Anomeans, yang menekankan perbedaan antara Bapa dan Anak; Homeans, yang menyiratkan kesamaan antara anak dan Bapa “berdasarkan kesesuaian kitab suci”, dan Semi-Arians, yang menekankan istilah homoiousion, yang mengexpresikan baik kesamaan dan perbedan antara Bapa dan Anak.
Di abad kelima, kaum Arian yang semakin tertekan oleh perlakukan Kekaisaran, mengungsi kepada bangsa-bangsa Barbar yang lambat laun mulai menguasai Romawi barat. Mereka menemukan tempat di antara kaum Goth, Heruli, Suevi, Vandals, dan Burgundy. Setelah merasa aman, mereka kemudian memperlakukan kaum ortodoks dengan kekejaman yang hampir sama dengan yang pernah mereka dapatkan. Kaum Vandal, yang menancapkan kekuasaan di Afrika, turut memberlakukan kebijakan yang sama terhadap pendukung Nikea. Awalnya Ginseric, raja mereka, dan kemudian Huneric, anaknya, menghancurkan gereja-gereja dan membuang uskup-uskupnya ke pengasingan, dengan dasar perlakukan tersebut serupa dengan yang pernah dilakukan Kaisar terhadap kaum Donatik, Arian, dan lainnya yang dianggap menyimpang dari ajaran ortodoks.
Di awal abad keenam, kaum Arian berjaya di sebagian Asia, Eropa, dan Afrika. Banyak dari uskup Asia yang mendukung Arianisme. Kaum Vandal di Afrika, Goth di Italia, kaum Gaul, babgsa Suevi, Burgundy, dan Spaniard dengan terbuka menyokong kepercayaan Arianisme mereka. Kaum Yunani yang sempat mendukung doktrin Nikea turut memperoleh kekerasan dimanapun mereka berada. Dalam periode yang disebut sebagai abad kegelapan di Eropa ini, kekerasan antara Arian dan Ortodoks terjadi seakan tidak pernah berhenti dan selalu berulang. Hingga kemudian Justinian berkuasa dan merestorasi keadaan. Ia berhasil mengusir kaum Vandal dari Afrika dan Goth dari Italia. Akhirnya beberapa raja penganut Arian, seperti Sigismund, raja Burgundy, Theodimir-Raja Suevi di Lusitania, dan Receared, raja Spanyol, tanpa penumpahan darah mengakui pelepasan meeka dari doktrin Arian. Entah ada alasan apa di balik peristiwa tersebut, tetapi efeknya sejak itu, Kaum Arian mulai sedikit demi sedikit melemah dan tidak pernah memperoleh kekuatan yang sama lagi.
Dalam hal penggunaan kitab Suci, Saat gereja barat tengah menuju persetujuan dalam penentuan canon Perjanjian Baru, Gereja timur masih belum sepenuhnya sepakat dalam hal tersebut. Penyebabnya antara lain, Gereja timur mencakup wilayah yang lebih heterogen, mulai dari Syria, Turki (Byzantium) hingga Mesir. Sebelumnya gereja di wilayah-wilayah tersebut sudah memiliki pilihan canon kitab suci masing-masing. Gereja Syria contohnya, walaupun sempat menggunakan canon Tatian selama beberapa waktu, pada abad keempat seluruh naskah Diatessaron dimusnahkan oleh perintah Uskup Theodoretus dari Cyrrhus dan Rabbula dari Edessa. Mereka menggantikannya dengan empat Injil yang terpisah. Pada abad kelima, gereja Syria menggunakan Pesshita yang berisi seluruh kitab Perjanjian Baru kecuali surat II dan III Johannes, II Petrus, Yudas, dan kitab Wahyu. Beberapa aliran gereja timur masih menggunakan canon tersebut hingga saat ini. Tetapi secara keseluruhan, konsep kristianitas versi Paulus yang menyebar pesat di barat mengelami penerimaan yang lebih lambat di kawasan ini.
Selanjutnya sebagai pengingat, ada pula gereja Afrika (Koptik) yang berpusat di Alexandria. Dalam hal penggunaan kitab suci, gereja ini sangat dipengaruhi pemikiran Clement dari Alexandria. Contohnya gereja ini mengakui dua surat Clement sebagai bagian dari kitab suci. Gereja aliran lain yang berpusat di Ethiopia bahkan menggunakan kitab-kitab tak dikenal seperti Sinodos (kumpulan doa yang dianggap sebagai karya Clement dari Roma), Octateuch (dianggap ditulis Petrus kepada Clement dari Roma), Kitab Perjanjian (berisikan instruksi Yesus sebelum peristiwa kenaikan), dan Didascalia (lebih seperti Didache yang berisikan peraturan-peraturan gereja). Naskah tertua yang pernah ditemukan saat ini merupakan naskah yang berasal dari keluarga Alexandria, tidak lain adalah codex Sinaiticus yang turut memuat kitab Hermas dan surat Barnabas. Membuktikan bahwa pada abad keempat masih ada gereja yang tidak menggunakan canon resmi.
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa gereja barat lebih sepakat dalam menentukan canon, hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan politik dan sosial pasca-Nikea. Contohnya saat Athanasius melarikan diri dari tekanan gereja timur (yang masih menganut Arianisme), ia malah mendapatkan tanggapan yang baik di gereja barat. Sinode Carthage merupakan penentu akhir kontroversi canonisasi, dan setelah itu hampir-hampir tidak ada revisi terhadap Perjanjian Baru. Gereja Katolik tidak segera meresmikan susunan Bible hingga tanggal 8 April 1546, di mana konsili Trent terpaksa diadakan akibat tekanan politik. Gereja Katolik akhirnya mengakui Bible yang berisi 73 kitab sebagai bacaan utama mereka. Keputusan ini mengakibatkan perbedaan dengan aliran Protestan yang hanya menggunakan Bible yang berisi 66 kitab.
Pihak Protestan menyebut 7 kitab tambahan yang digunakan Katolik sebagai apokrip, sedangkan Martin Luther walaupun tidak secara terbuka menolak keotentikan beberapa surat dalam Perjanjian Baru, kadang ia menempatkan beberapa surat dalam derajat yang rendah dibandingkan dengan surat lainnya. Seperti Marcion, ia menempatkan surat–surat Paulus dalam derajat utama dan harus dianggap sebagai sumber keterangan utama mengenai ajaran Kristen. Surat lainnya seperti Yudas, Yakobus, dan Petrus (Catholic Epistles) ia tempatkan pada derajat yang lebih rendah karena menyiratkan pertentangan terhadap ajaran Paulus.
Hingga kini dapat kita simpulkan bahwa canonisasi Perjanjian Baru tidak pernah didasarkan atas pertimbangan literal atau historis, melainkan lebih atas dasar konsensus di antara gereja-gereja masa lampau. Akibatnya seperti yang bisa ditemukan saat ini, berupa banyaknya kontradiksi ditemukan di antara kita-kitab Perjanjian Baru. Martin Luther yang menyadari adanya pertentangan ajaran Paulus dalam beberapa surat akhirnya harus menempatkan beberapa surat dalam derajat yang berbeda. Belum lagi dengan ditemukannya berbagai keraguan atas keotentikan kitab-kitab tertentu di abad pasca-pencerahan yang menambah keraguan terhadap kredibilitas para Bapak Gereja awal dalam memproses canonisasi Perjanjian Baru.
Beberapa naskah kuno yang selama ini diungkap bahkan seakan membuka mata kita bahwa selama ini terdapat berbagai bacaan lain di luar Perjanjian Baru yang dianggap sebagai tulisan suci oleh gereja-gereja di abad awal. Masalah hilangnya beberapa bacaan tersebut dari sejarah, kita dapat menyalahkannya pada tindakan-tindakan gereja pada masa sesudahnya yang sangat protektif.
No comments:
Post a Comment